JAKARTA – Penularan
tuberkulosis (TBC) yang menyebar lewat udara ketika orang batuk, bersin, atau
meludah, perlu menjadi perhatian karena semua orang berisiko tertular TBC.
Ilustrasi, hasil ronsen paru-paru/Foto: Kemenkes
Sekretaris Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit
Kementerian Kesehatan Yudhi Pramono mengatakan kendati demikian, terdapat
kelompok masyarakat yang memiliki risiko lebih tinggi tertular penyakit ini.
“Meskipun semua orang bisa tertular TBC, terdapat
kelompok yang lebih berisiko tinggi tertular TBC, yaitu orang yang kontak
serumah dan kontak erat dengan pasien TBC, orang dengan HIV (ODHIV), dan
perokok,” kata Yudhi, Sabtu (1/2/2025).
Kemudian, lanjutnya orang dengan diabetes melitus (DM)
seperti bayi, anak-anak, dan lansia yang memiliki interaksi dengan pasien TBC,
warga binaan pemasyarakatan (WBP), tunawisma, pengungsi, serta masyarakat yang
tinggal di permukiman kumuh-padat dan kumuh-miskin juga berisiko tinggi
tertular TBC.
TBC dalam percikan (droplet) dapat bertahan selama
beberapa jam di ruangan yang lembap dan tidak terpapar sinar matahari.
Yudhi mengatakan, apabila percikan droplet tersebut
dihirup oleh orang lain, terutama mereka yang memiliki kontak erat dengan
pasien TBC, maka risiko penularan semakin tinggi. Setelah seseorang terinfeksi,
ia mengatakan kuman Mycobacterium tuberculosis bisa dalam kondisi aktif atau
tidak aktif (dormant) dalam tubuhnya.
"Jika daya tahan tubuhnya baik, maka bakteri TBC
akan tetap tidur. Namun, jika daya tahan tubuh menurun, bakteri ini bisa
menjadi aktif dan menyebabkan penyakit," kata Yudhi.
Guna menemukan kasus tuberkulosis secara dini,
investigasi kontak dilakukan oleh tenaga kesehatan atau kader, dengan minimal
delapan orang diperiksa untuk setiap kasus TBC.
Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/C/2175/2023 tentang
Perubahan Pelaksanaan Investigasi Kontak dan Alur Pemeriksaan Infeksi Laten
Tuberkulosis (ILTB) serta Pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) di
Indonesia.
Yudhi mengatakan, kegiatan investigasi kontak adalah
salah satu strategi dalam program penanggulangan TBC untuk melacak dan mencari
orang-orang yang berinteraksi langsung (kontak serumah dan kontak erat) dengan
pasien TBC. Investigasi ini dilakukan oleh petugas fasilitas pelayanan
kesehatan, kader, atau komunitas.
Untuk memastikan semua kontak dapat dilacak atau
diinvestigasi, perlu dilakukan beberapa upaya, seperti door to door atau jemput
bola langsung ke rumah pasien dan kontak (serumah dan erat).
“Kader dapat melakukan kunjungan ke rumah pasien TBC dan
rumah tetangga atau rekan yang berkontak dengan pasien melalui pendekatan yang
sesuai dengan budaya di daerah,” kata Yudhi.
Apabila kontak menolak untuk dikunjungi rumahnya, ia
mengatakan maka petugas dapat menawarkan pilihan invitasi kontak, yaitu
mengundang kontak untuk datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes),
misalnya puskesmas atau rumah sakit, lalu dilakukan skrining oleh petugas di
fasyankes.
Petugas atau kader juga melakukan investigasi kontak
terhadap teman satu kantor, satu sekolah, atau teman satu tempat bermain (jika
pasien TBC merupakan anak-anak). Mereka membantu mengarahkan dan mendampingi
kontak agar datang ke fasyankes untuk pemeriksaan lebih lanjut.
“Jika ada yang bergejala TBC, maka akan dilakukan
pemeriksaan diagnosis. Sementara itu, yang tidak bergejala akan menjalani
asesmen untuk pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT)," kata Yudhi.
Jika terkendala transportasi, lanjutnya petugas atau
kader sering kali menjemput menggunakan kendaraan pribadi atau meminjam
ambulans puskesmas atau desa jika dibutuhkan.(infopublik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar