JAKARTA – Program cetak sawah baru seluas 3 juta hektare adalah salah satu solusi penting untuk mencapai swasembada pangan di Indonesia. Program ini dirasa sangat relevan mengingat proyeksi peningkatan kebutuhan pangan seiring pertumbuhan populasi Indonesia yang diperkirakan mencapai 330 juta jiwa pada 2050.
"Cetak sawah adalah salah satu solusi menuju
swasembada pangan. Selain itu, inovasi dan pengembangan teknologi pertanian
juga menjadi kunci penting," ujar Pakar Pertanian, Agroklimatologi, dan
Perubahan Iklim Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho, dalam
keterangan pers Jumat kemarin.
Bayu menegaskan, program cetak sawah ini berfokus pada
pemanfaatan lahan tidur tanpa mengubah fungsi lahan hutan. Program ini
bertujuan untuk meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) dari satu kali tanam
menjadi dua hingga tiga kali per tahun, guna memperkuat produksi pangan dalam
negeri.
"Cetak sawah ini bukan berarti alih fungsi lahan
hutan. Fokusnya adalah meningkatkan IP—dari biasanya satu kali tanam per tahun
menjadi dua hingga tiga kali," jelas Bayu.
Bayu juga optimistis, swasembada pangan dapat dicapai,
terutama mengingat banyak negara kini mulai menerapkan pembatasan ekspor pangan
akibat perubahan iklim dan ketidakpastian geopolitik global.
"Artinya, suplai pangan global berkurang, sehingga
kita harus mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri," tegasnya.
Bayu menekankan, pencapaian swasembada pangan tidak bisa
hanya dibebankan kepada Kementerian Pertanian.
Ia menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dengan
melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Pupuk Indonesia Holding
Company (PIHC) dan Perum Bulog, untuk mendukung program lumbung pangan.
"Setiap lembaga memiliki peran penting dalam
mendukung lumbung pangan. Jadi, swasembada pangan tidak bisa menjadi tanggung
jawab Kementan saja," tambahnya.(infopublik/Foto: kementan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar