JAKARTA – Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Kementerian PPPA Titi Eko Rahayu menyatakan, sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan.
Hal tersebut disampaikannya saat berbicara pada pertemuan nasional bersama para pamangku kepentingan dari lintas sektor dengan tema “Memperkuat dan Membangun Strategi Lebih Lanjut dalam Pelaksanaan Implementasi Roadmap Pencegahan P2GP/FGM/C 2020-2030 di Indonesia” di Jakarta pada Kamis (26/9/2024).
"Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” kata Titi melalui keterangan resmi, Jumat (27/9/2024).
Praktik yang membahayakan itu masih dilaksanakan secara turun temurun dimasyarakat. Banyaknya praktek sunat perempuan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya di mana perempuan itu tinggal.
Kemen PPPA telah memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan Praktik Sunat Perempuan atau P2GP 2020-2030 yang ditetapkan pada 2019 dan disusun bersama dengan para stakeholder dari lintas Kementerian/Lembaga dan organisasi masyarakat.
Menjelang setengah perjalanan pelaksanaan Roadmap P2GP, Kemen PPPA melaksanakan pertemuan nasional bersama para pemangku kepentingan dari lintas sektor untuk mendorong komitmen dan penguatan implementasi.
Untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, Titi mengatakan semua pihak berupaya memperkuat dan membangun strategi lebih lanjut agar pelaksanaan implementasi Roadmap Pencegahan P2GP yang sudah berjalan selama empat tahun ini bisa memberikan dampak lebih besar.
Selanjutnya evaluasi bersama dan saling mendiskusikan strategi yang akan dilaksanakan sampai 2030. Kemen PPPA bersama United Nations Population Fund (UNFPA) akan terus melakukan strategi pencegahan P2GP.
"Kemudian mengkampanyekan dan mengedukasi “STOP Praktik Sunat Perempuan” kepada stakeholder dan masyarakat. Kami berharap semua pihak bisa ikut berkolaborasi, bekerjasama, bersinergi dalam upaya mencegah tindakan sunat perempuan yang membahayakan tanpa alasan medis," kata Titi.
Asisten Representative United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia Verania Andria mendukung upaya Kemen PPPA dalam menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk praktik sunat perempuan.
Verania mengatakan pihaknya bersama Kemen PPPA, Kementerian/Lembaga dan organisasi lainnya akan terus berupaya menyusun data yang menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam mengentaskan masalah FGM/C atau P2GP ini.
Melalui pelaksanaan survei SPHPN di tahun 2024 kita nanti bisa menyusun action plan yang lebih komprehensif untuk menghapuskan sunat perempuan.
"Meskipun permasalahan ini terlihat kecil, tapi sebenarnya hal ini bisa menjadi kunci untuk mencapai masa depan yang bebas dari diskriminasi khususnya bagi perempuan,” kata Verania.
Adapun tiga alasan terbanyak yang diungkapkan oleh perempuan dalam melaksanakan sunat perempuan pada SPHPN 2021 di antaranya mengikuti perintah agama sebanyak 68,1 persen.
Lalu, karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya melakukannya sebanyak 40,3 persen dan alasan kesehatan seperti dianggap lebih menyuburkan sebanyak 40,3 persen.(infopublik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar